Kerjasama Bisnis dalam Islam
Dalam istilah
syariah, kerja sama bisnis sering disebut sebagai syirkah. Apa dan bagaimana
sebenanya syirkah ini bekerja? Sebuah tulisan M. Shiddiq Al-Jawi dalam
syariah.org menjelaskan praktik ini dengan runtut. Berikut petikan tulisannya.
Dalam fikih,
syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun
tertentu. Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Menurut arti asli bahasa Arab
(makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih
sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian
lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua
pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
Hukum dan Rukun
Syirkah
Syirkah
hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Muhammad SAW, berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga)
yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad
(‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf
(pengelolaan harta); (2) obyek akad (mahal), disebut juga ma‘qûd ‘alayhi, yang
mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) Adapun syarat sah akad ada 2
(dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan
harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya
dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di
antara para syarîk (mitra usaha)
Macam-Macam
Syirkah
Menurut
An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah
inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5)
syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua
itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi
syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan
Zaidiyah.
Menurut ulama
Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah,
dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah
inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah,
yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah inân
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh
berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh
syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut.
Dalam syirkah
ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan
konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu
dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga
syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B.
keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka
sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan
ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah
ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan
tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram,
misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang
diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga
tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan
hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151Syirkah
Mudhârabah
Syirkah
mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl). (An-Nabhani, 1990: 152). Contoh: A sebagai pemodal
(shâhib al-mâl/ rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B
yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan
umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk
lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B)
sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah
mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.)
dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan
melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/’âmil). Pemodal
tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada
keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal,
sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah
berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung
kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990:
152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu
terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah, 2/66).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh
disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh
adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan
konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan
konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga
berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya. (An-Nabhani, 1990:
154).
Bentuk kedua
syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam
barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. (An-Nabhani, 1990:
154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah
wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua
bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk
syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat
Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian,
An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah
wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan
seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal
tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah
syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang
tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
(An-Nabhani, 1990: 155-156).
Syirkah
Mufâwadhah
Syirkah
mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh)
(An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang
diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A
adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil,
yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B
dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara
kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini,
pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat
masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu,
ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga
terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C
sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân
di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar