Selasa, 29 Mei 2012

GADAI


GADAI DALAM ISLAM


A. Defenisi Ar-Rahn (Gadai):
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng)(1); dan bisa juga berarti al-ihtibas (2) wa al-luzum (3) (tertahan dan keharusan).
Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.(4)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.(5)
Sebagai contoh, bila ada seseorang memiliki hutang kepada anda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya sekitar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) sebagai jaminan utangnya. Maka di dalam gambaran ini, utangnya kelak dapat dilunasi dengan sebagian nilai barang yang digadaikannya itu bila dijual.
Dalam dua gambaran di atas, baik nilai barang gadaiannya itu lebih besar maupun lebih kecil dari jumlah utang, hukumnya tetap sama, diperbolehkan.
B. Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:
a. Al-Qur’an:
:
IFirman Allah
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
 menyebutkan
IDi dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah  “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan atau obyek pegadaian.
b. Al-Hadits:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab Al-Musaqat).
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963) dalam kitab Al-Buyu’).
c. Ijma’ (konsensus) para ulama:
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan mukim.(6) Akan tetapi, pendapat yang lebih rajih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.
C. Unsur dan Rukun Gadai (Ar-Rahn):
Dalam prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki empat unsur, yaitu:
1. Ar-Rahin, Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan jaminan barang.
2. Al-Murtahin, Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun/ Ar-Rahn, Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan.
4. Al-Marhun bihi, Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.(7)
Sedangkan rukun gadai (Ar-Rahn) ada tiga, yaitu:
• Shighat (ijab dan qabul).
• Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang menggadaikan (ar-râhin) dan yang menerima gadai/agunan (al-murtahin)
• Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf (tindakan), maka akad gadai (ar-rahn) tersebut sah.
Syarat gadai (ar-rahn):
Disyaratkan dalam muamalah gadai hal-hal berikut:
Pertama: Syarat yang berhubungan dengan orang yang bertransaksi yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
Kedua: Syarat yang berhubungan dengan Al-Marhun (barang gadai) ada dua:
1. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
2. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
3. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya,(8) karena Al-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Ketiga: Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
D. Kapan Serah Terima Ar-Rahn (Barang Gadai) Dianggap Sah?
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk pemberi utang tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Beberapa Ketentuan Umum Dalam Muamalah Gadai:
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan.
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Dari Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Barang Gadai Adalah Amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, dia hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak, misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya tidak atau sulit untuk dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Karenanya jika dia telah membayar utangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang.
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).
Dan sabda Nabi:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari (no.2512), dan At-Tirmidzi (no.1245), dan ini lafazhnya).
4. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.(10) Demikianlah hukum asal pegadaian.
5. Biaya Perawatan Barang Gadai.
Jika barang gadai butuh biaya perawatan -misalnya hewan perahan, hewan tunggangan, dan budak (sebagaimana dalam as-sunnah) maka:
- Jika dia dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
- Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.
Maksud barang gadai yang butuh pembiayaan, yakni jika dia tidak dirawat maka dia akan rusak atau mati. Misalnya hewan atau budak yang digadaikan, tentunya keduanya butuh makan. Jika keduanya diberi makan oleh pemilik uang maka dia bisa memanfaatkan budak dan hewan tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang dia keluarkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang telah lalu dalam masalah pemanfaatan barang gadai.
6. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai denga waktu yang telah disepakatinya dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.(12)

Rabu, 23 Mei 2012

ijarah


            Ijarah adalah akad sewa-menyewa,
sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan
sewa-menyewa. Bank syariah menurut UU no. 10/1998 ijarah adalah salah satu
prinsip syariah yang digunakan untuk memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah. Secara fiqh ijarah didefenisikan oleh Fatwa DSN MUI sebagai akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri. Perlu digaris bawahi bahwa ijarah sebagaimana yang
didefenisikan oleh DSN MUI tersebut adalah prinsip syariah yang digunakan dalam
pembiayaan, bukan akad atau perjanjian pembiayaan itu sendiri. Bila ijarah
secara fiqh merupakan suat akad sewa menyewa, maka dalam konteks UU no. 10/
1998 Ijarah adalah suatu prinsip dalam penyediaan uang atau tagihan.

            Dengan demikian pada hakikatnya
ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada
perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang
menyewakan kepada penyewa.

Dalam Hukum Islam
ada dua jenis ijarah, yaitu:

1.          
Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
Pihak yang memperkerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah
yang dibayarkan disebut ujrah.

2.          
Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau
property, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari asset atau property tertentu
kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan
leasing (sewa) pada bisnis konvensial. Pihak yang menyewa (lessee) disebut
mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir / muajir dan biaya sewa
disebut ujrah.

Ijarah
bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah,
sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau
pembiayaan di perbankan syari’ah.

Rukun
dan Syarat Ijarah

1. Rukun dari
akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah:

a.         
Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak
yang menyewa asset dan mu’jir / muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang
menyewakan asset.

b.        
Objek akad, yaitu ma’jur (asset yang disewakan) dan
ujrah (harga sewa).

c.         
Sighat yaitu ijab dan qabul.



2. Syarat ijarah
yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut:

a.         
Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh asset yang
disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah
pihak.

b.        
Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang
bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga asset tersebut dapat memberi manfaat
kepada penyewa.

c.         
Akad ijarah dihentikan pada saat asset yang
bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika asset tersebut
rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.

d.        
Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang
ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual
harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.















wadiah



WADI’AH

Wadi’ah
merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain. Akad wadi’ah terbagi
dua yaitu:


Wadi’ah Yad Al-Amanah

Merupakan
akad penitipan barang/uang dari penitip (muwaddi’) kepada penyimpan (mustawda’)
dimana barang/uang yang dititipkan tidak boleh dipergunakan dan dimanfaatkan
oleh penyimpan. Kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang bukan
disebabkan oleh kelalaian penyimpan bukan tanggung jawab penyimpan. Sebagai
konsekuensinya, penyimpan dapat membebankan biaya penitipan kepada penitip yang
telah disepakati bersama.

Aplikasi
perbankan
: safe deposit box

b. Wadi’ah Yad Al-Dhamanah

Merupakan
akad penitipan barang/uang dari penitip (muwaddi’) kepada penyimpan (mustawda’)
dimana barang/uang yang dititipkan dapat dipergunakan dan dimanfaatkan dengan
seijin penyimpan. Semua keuntungan yang dihasilkan adalah milik penyimpan
dengan konsekuensi kerusakan atau kehilangan barang/uang yang dititipkan
merupakan tanggung jawab penyimpan. Penyimpan tidak dilarang untuk memberikan
bonus kepada penitip dengan catatan tidak dijanjikan sebelumnya.

c.
Ciri-ciri Wadiah Yad Amanah adalah sebagai berikut:

a.         
Penerima titipan adalah memperoleh kepercayaan

b.        
Harta/modal/barang yang berada dalam titipan harus
dipisahkan

c.         
Harta dalam titipan tidak dapat digunakan

d.        
Penerima titipan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan
simpanan

e.         
Penerima titipan tidak diharuskan mengganti segala
resiko kehilangan atau kerusakan harta yang dititipkan kecuali bila kehilangan
atau kerusakan itu karena kelalaian penerima titipan.

d.
Ciri-ciri Wadi’ah Yad Dhamanah adalah sebagai berikut:

a.         
Penerima titipan adalah dipercaya dan penjamin barang
yang dititipkan

b.        
Harta dalam titipan tidak harus dipisahkan

c.         
Harta/modal/barang dalam titipan dapat digunakan untuk
perdagangan

d.        
Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh
dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan

e.         
Pemilik harta/modal/ barang dapat menarik kembali
titipannya swaktu-waktu.